@laravelPWA
KESEDERHANAAN
  • Judul: KESEDERHANAAN
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 5:52:10 14-6-1404

Kata “ruwet” umum dipadankan dengan kata “rumit” atau “kusut”. Dalam komunikasi sehari-hari, “ruwet” cenderung dikonotasikan negatif karena asosiatif dengan kegagalan, kerugian, stress, dan depresi. Sementara lawan katanya adalah sederhana atau simpel.

Kesederhanaan dan kerumitan berlaku dalam banyak domain dari logika, filsafat dan sains juga psikologi serta antropologi hingga agama, gaya hidup dan perilaku.

Dalam konteks filsafat, terutama pada bidang ontologi atau metafisika, konsep kesederhanaan dan kerumitan juga sering muncul dan menjadi perdebatan yang menarik di antara para filsuf.

Dalam wawasan umum, termasuk bahkan dalam ontologi, mistisisme (irfan), dan akhlak, kata itu cenderung bermuatan positif. Apalagi frasa sederhana yang kerap dipahami “tidak mewah” bahkan “apa adanya” sehingga identik dengan kerendahan hati dan kejujuran.

Kata rumit atau kompleks malah bertendensi sangat positif dan bonafid. Sinonimnya adalah kompleks dan canggih alias sophisticated.

Kesederhanaan pun kerap dikesankan sebagai kenaifan. Bila dimaksudkan sebagai suasana hati, maka kenaifan dinilai sebagai baik, tapi akan menjadi buruk jika terkait dengan aktivitas akal atau mental. Kata “mewah” lazim dilekatkan dengan kesombongan, maka buruk. Namun, mewah dalam kategori konsep justru baik.

Orang yang sederhana dalam berpikir pada umumnya justru rumit dalam bertindak. Sebaliknya, orang yang rumit dalam berpikir biasanya sangat sederhana dan bersahaja dalam bertindak.

Orang yang begitu betah dalam pikiran sederhana biasanya merasa gatal untuk meremehkan pikiran-pikiran rumit yang runut dan mendetail. Namun, saat terbentur kenyataan dirinya tak tahu beluk implementasi suatu rencana atau konsep, ia pun selebor dan berbuat serampangan. Kepalang basah, saat diingatkan, ia pun berdalih dengan idiom “learning by doing: atau “trial and error”.

Rata-rata orang dan orang rata-rata cenderung menolak info atau ajaran yang tak diketahui atau tak diyakininya. Namun di saat yang sama, ia juga suka menyimak berulang kali info atau ajaran yang telah diketahui atau diyakininya. Baik penolakan maupun pengulangan itu umumnya bukan disebabkan validitas dan kekuatan argumennya. Namun lebih dikarenakan itulah info yang pertama kali mengisi benaknya.

Orang yang sengaja menghindari pikiran rumit dan memilih berpikir sederhana mengira bahwa pikiran sederhana membuahkan tindakan yang juga sederhana. Padahal pikiran yang rumit justru membekalinya detail pengetahuan sehingga implementasinya menjadi begitu sederhana.

Banyak kalangan yang sudah terlanjur tenggelam dalam suatu pandangan atau ajaran berusaha menghindari konsekuensi praktisnya (yang menjadi beban dengan beragam risikonya). Akibatnya, mereka terjebak dalam labirin romantisme what dan why tanpa pernah beringsut kepada how.

Sementara, sebagian pihak yang terbiasa berpikir sederhana, beranggapan bahwa kebenaran suatu pandangan atau ajaran bukan ditentukan oleh validitas argumentasinya, melainkan ditentukan oleh kemudahannya untuk dipahami pikirannya sendiri yang sederhana. Kadang menjadikan kesan personal tentang figur atau animo besar publik alias viral sebagai parameter.

Sebagian orang yang terbiasa dimanjakan oleh pikiran-pikiran sederhana juga cenderung menolak pikiran rumit yang memerlukan proses inteleksi sistematis. Mereka bahkan kerap mencemoohnya sebagai “ruwet” dan muluk-muluk. Semua itu tak lain demi mempertahankan zona nyaman berupa pikiran sederhana.

Orang yang pikirannya sudah terkurung dalam sangkar berpikir sederhana cenderung menggantikan prosedur berpikir rumit terkait keapaan (whatness) dengan kesiapaan (whoness) yang hanya membutuhkan telinga dan otak yang reseptif alias taken for gtanted.

Berikut adalah ilustrasi paradoks kesederhanaan dan kerumitan dalam logika dan perilaku :

Orang Rumit

Agus adalah tipe orang yang berpikir sederhana dan cenderung meremehkan teori bahkan tak jarang mencemooh analisa dan segala pernyataan ilmiah dengan menyebutnya ruwet, lebay, sok ilmiah, sok filosofis, tidak aplikatif, tidak praktis dan ucapan-ucapan senada.

Suatu hari setelah menerima gaji awal bulan Agus mengambil keputusan membeli sebuah alat elektronik merek ternama yang belakangan ini diiklankan secara gencar di televisi.

Sesampainya di toko khusus barang elektronik itu, Agus langsung menemui pegawai dan menyebut merek barang yang diinginkannya. Saking bersemangatnya karena pengaruh iklannya yang menarik, Agus tidak menanyakan harganya. Ia hanya menyuruh pegawai itu mengemasnya. Namun penjual itu menawarkan kepada Agus memeriksa barang itu untuk memastikan pembeli tidak salah beli. Saat petugas hendak membuka kardus untuk memperlihatkan segel, Agus menolak. “Saya sudah tahu. Anda tidak perlu membuktikan keasliannya. Saya tidak punya waktu banyak,” ujarnya tenang.