Dalam literatur umum cinta biasanya dijelaskan dalam dua perspektif, yaitu cinta platonik dan cinta stoik. Keduanya adalah dua konsep cinta yang berbeda dalam filosofi dan pemikiran kuno.
Cinta platonik, yang berasal dari filsuf Yunani kuno, Plato, adalah konsep cinta yang tidak tergantung pada keinginan fisik atau sensual. Cinta platonik lebih menitikberatkan pada pengembangan hubungan spiritual dan intelektual antara dua individu. Dalam cinta platonik, cinta dikatakan lebih murni dan lebih disemangati oleh kecantikan dalam jiwa dan pikiran, bukan sekadar keinginan atau kemahuan jasmani. Cinta ini sering dikaitkan dengan hubungan antara guru dan murid, atau persahabatan yang dalam dan saling memahami.
Cinta stoik, di sisi lain, berasal dari filsuf-filsuf Stoik Romawi kuno seperti Seneca dan Epictetus. Dalam cinta stoik, hubungan cinta dilihat sebagai sesuatu yang harus dipertimbangkan secara rasional dan berdasarkan hakikat alam dan kebijaksanaan. Cinta dalam pandangan stoik tidak boleh dipengaruhi oleh emosi atau keinginan yang mendalam, melainkan harus dipandu oleh prinsip keadilan, kebijaksanaan, dan keseimbangan. Cinta stoik menekankan kontrol diri dan pengendalian emosi untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian dalam hubungan.
Dengan demikian, sementara cinta platonik menekankan hubungan spiritual dan intelektual yang murni, cinta stoik menyoroti aspek rasional dan pengendalian diri dalam hubungan cinta. Kedua konsep ini menunjukkan bahwa cinta dapat dimaknai secara berbeda dan dipahami melalui berbagai sudut pandang filosofis.
Ada berbagai pandangan tentang esensi cinta yang dikemukakan oleh filsuf pra-era modern selain Plato dan filsuf Stoik. Berikut adalah beberapa contoh pandangan tentang cinta dari beberapa filsuf terkenal pra-era modern:
Bersambung...