Dalam beberapa petak bangunan sederhana berjajar di tengah desa itu ia tumbuh sebagai remaja calon agamawan. Di situlah dia mengenyam pendidikan tradisional dan menjalani interaksi sosial yang serba relijius dengan kesabaran menerima aneka penyakit kulit semacam panu dan kurap.
Ia betah lama menimba ilmu agama berkat prinsip thuluz-zaman dan mengabdikan dirinya dalam melayani dan mengormati gurunya, bahkan di luar urusan belajar dengan harapan suatu saat akan menjadi kyai terpandang di kampungnya.Kini keadaan benar-benar berbalik.
Setelah mengikuti ujian persamaan dan menenteng ijazah SMA berkat modernisasi yang tak terbendung, ia seakan mngubur semua masa lalunya yang tradisional. Lebih dari itu, setelah berpindah ke ibukota dan menjadi mahasiswa, ia mulai terperangah melihat dunia modern. Dengan kemaruk ia sibuk mengokeksi buku-buku karya pemikir Barat dan rajin menghdiri diskusi dan seminar seputar wacana-wacana modern, seperti pluralisme, feminisme dan segala pemikiran Islam yang anti-tradisonal dan kritis.
Setelah menguasai bahasa Inggris dan mampu menulis artikel-artikel yang berisikan apresiasi terhadap pemikiran Barat tentang Islam, ia pun mendapatkan tawaran short course seraya memperlihatkan antusiasme tinggi untuk mengagumi juga menelan semua yang datang dari kaum bule.
Sejak saat itulah ia dan sejenisnya jadi lebih liberal dari yang asli liberal, sengit kepada seagama dan ekstrem toleran bahkan kepada yang bahkan dibenci oleh mayoritas masyarakat Barat.
Ironisnya, dia justru bertransformasi menjadi lebih liberal dan ekstrem dalam pendekatannya terhadap agama. Ia menjadi gigih dalam mendukung prinsip-prinsip liberalisme dan ekstrem toleran terhadap segala hal, bahkan hingga ke titik di mana ia lebih berpihak kepada rezim iblis yang kini dikecam dan dibenci oleh sebagian besar masyarakat Barat.
Makin ironis saat dia menepuk dada membanggakan sikap, pandangan dan kelakuannya yang nir empati kepada korban kejahatan sistematis dan penjajahan sebagai seorang intelektual inklusif, frrethinker bahkan filsuf.
Dia tak sendirian. Yang model begini mulai berkecambah. Calon-calonnya lebih banyak lagi. Ternyata dia dan sejenisnya telah lama menjadi plaraan semacam sindikat yang bergerak samar namun intensif dengan agenda memuluskan jalan bagi upaya normalisasi. Dia dan mantan gembel kini hidup borjuis dan berhalusinasi dengan kepongahan intrektuslitas ala kadarnya menjadi pendamai pelaku perampokan dan korbannya.
Meski kesal dan kecewa tapi tindakan salah beberapa individu tidak cukup untuk dijadikan dasar penilaian terhadap organisasi atau perkumpulan yang terasosiasi kepada mereka.