Salah satu masalah penting dalam ibadah adalah niat. Saking pentingnya niat, nilai setiap ibadah ditentukan sesuai dengan niat dan motivasi orang yang melakukannya.
Seorang Muslim harus memiliki niat yang ikhlas dalam menjalankan setiap perbuatannya, terutama dalam beribadah. Sebab niat buruk dianggap menjadi penyebab hilangnya berkah dan terjadinya musibah. Dalam akhlak, niat diperkenalkan sebagai dasar dari nilai moral dan sumber dari perbuatan baik dan buruk manusia. Para ulama memandang niat untuk berbuat dosa, tapi tidak dilakukan belum dikenai status hukum secara fikih, namun buruk secara moral.
Niat dalam ajaran Islam dipandang sebagai dasar ibadah, sehingga seseorang yang menjalankan kewajibannya tanpa niat, maka ibadahnya tidak diterima. Tidak ada satupun amalan ibadah, seperti puasa tanpa niat, karena niat dalam puasa menghubungkan benang dari semua menit dan momentum puasa. Setiap kali orang yang berpuasa dengan sengaja menetapkan niatnya sejenak untuk berbuka, maka batal puasanya, meskipun dia tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Imam Khomeini dalam hal ini berkata, "Jika seseorang berniat untuk membatalkan puasanya pada waktu puasa wajib, seperti puasa Ramadhan, maka puasanya batal.".
Hal yang luar biasa tentang niat berkaitan dengan posisi manusia yang memiliki batasan spasial dan temporal untuk melakukan tindakan, tetapi tidak ada batasan seperti itu dalam niat. Artinya dengan niat yang ikhlas, manusia bisa hadir dalam segala kegiatan dan mendapat pahala yang diniatkannya tersebut.
Dahulu kala, ada orang yang mendatangi Sayidina Ali bin Abu Thalib di salah satu pertempuran, dan berkata, "Betapa saya berharap saudaraku juga bisa berpartisipasi dalam pertempuran ini, dan melihat kemenangan Anda. Tapi karena ada halangan tidak bisa hadir. Imam Ali berkata kepadanya, "Apakah niat dan pemikiran saudaramu bersama kami?" Dia menjawab, ya.
Sayidina Ali kembali berkata, “Dia telah berpartisipasi dalam pertempuran ini dengan kita,”. Kemudian dia berkata, “Bahkan mereka yang akan datang di masa depan, dan dalam pemikiran dan niat yang sama dengan kami tentang perang ini, maka akan termasuk di dalamnya".
Oleh karena itu, tidak hanya dalam puasa, tetapi dalam semua ibadah, niat disebut sebagai pilar dan landasan perilaku dan spirit tindakan. Ketika niat untuk melakukan ibadah tercemar oleh sifat buruk seperti riya, maka tentu saja akan kehilangan keberkahan, bahkan hilang pahalanya.
Puasa sebagaimana ibadah lainnya harus diiringi dengan niat. Artinya menahan diri dari makan dan minum dan hal-hal lain yang membatalkan puasa dilakukan dengan niat menjalankan perintah Allah swt. Saking pentingnya niat di bulan Ramadhan, orang yang berpuasa tanpa niat sebelumnya, maka puasanya batal. Niat puasa bisa dilakukan selama sebulan, tapi lebih utama dilakukan setiap malam sebelum puasa dilakukan.Jika pasien sembuh di hari Ramadhan, maka tidak wajib puasa dan puasa pada hari itu, tetapi jika sebelum tengah hari dan tidak melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, maka kehati-hatian yang dianjurkan adalah niat untuk berpuasa. Dia harus berpuasa dan berpuasa, dan dia harus mengqadha hari itu setelah Ramadhan.
Seseorang yang tidak tahu apakah wajib puasa atau tidak, apakah berpuasa dengan maksud apa yang diperintahkan secara hukum, apakah itu puasa atau anjuran, dan sebenarnya dia bertanggung jawab untuk berpuasa, itu dianggap sebagai puasa.
Dalam Fiqih Jafari, ketika seseorang meragukan hari akhir Sya'ban atau awal Ramadhan yang disebut Yaum al-Syak, maka tidak wajib baginya untuk berpuasa. Jika dia ingin berpuasa, maka dia tidak bisa niat untuk berpuasa wajib di bulan Ramadhan, tetapi ia bisa berniat untuk berpuasa sunah di akhir sya'ban. Jika ternyata hari yang diragukan itu awal bulan Ramadhan, maka dia harus menebus puasa yang terlewat tersebut.
Allah swt dalam al-Quran surat al Maidah ayat 35 berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan,".
Kata "wasilah" yang berarti jalan di ayat ini merupakan setiap jalan, cara atau sarana apa saja untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sayidina Ali menyebut berpuasa di bulan Ramadhan sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt setelah keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Berdasarkan pernyataan eksplisit Al Quran, syafaat para Nabi, Imam dan aulia Allah swt juga menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam surah Yusuf ayat 97 dijelaskan, "Mereka (anak-anak Nabi Yakub) berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)".
Dalam surat Nisa ayat 64 juga diterangkan, "Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang,".
Melanjutkan pembahasan sebelumnya, potongan kedua doa Iftitah sebagai berikut:
"Tuhanku, aku bersyukurlah kepada-Mu yang menciptakan dan yang tidak menciptakan dirinya, mematikan yang hidup dan menghidupkan yang mati. Engkau senantiasa hidup dan tidak akan pernah mati, Yang Maha Kuasa dari apapun.
Ya Tuhanku, kirim shalawat dan salam kepada Muhammad, hamba dan utusan-Mu yang terpercaya, juga sahabat dan orang-orang terpilihnya, penjaga rahasia dan penyampai pesan-Mu, salam dan shalawat untuk yang terbaik, salam terindah, dan paling tulus untuk Nabi dan utusan-Mu.
Ilahi, sampaikan salam kepada Ali, pemimpin orang-orang Mukmin dan penerus utusan-Mu, saudara utusan-Mu, sebagai tanda besar keagungan-Mu.
Ya Tuhan, salam untuk Sadiqah Tahirah Sayidag Fatimah Zahra, penghulu para wanita dua dunia, dan salam untuk kedua putra Nabi terkasih dan dua pemimpin pilihan, Hassan dan Hussein, dua pemuda ahli surga.
Ya Tuhan, sampaikan salam kepada para pemimpin Muslim, Ali bin al-Husain, Muhammad bin Ali, Ja'far bin Muhammad, Musa bin Ja'far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hassan bin Ali, dan peninggalan berharga untuk membimbing umat sekaligus hujah dan kepercayaan-Mu. Shawalat dan salam terlimpah selalu,".
«الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِى یَخْلُقُ وَلَمْ یُخْلَقْ، وَیَرْزُقُ وَلَا یُرْزَقُ، وَیُطْعِمُ وَلَا یُطْعَمُ، وَیُمِیتُ الْأَحْیاءَ، وَیُحْیِى الْمَوْتى، وَهُوَ حَیٌّ لَایَمُوتُ، بِیَدِهِ الْخَیْرُ، وَهُوَ عَلَى کُلِّ شَىْءٍ قَدِیرٌ .اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِکَ وَرَسُولِکَ وَأَمِینِکَ وَصَفِیِّکَ وَحَبِیبِکَ وَخِیَرَتِکَ مِنْ خَلْقِکَ، وَحافِظِ سِرِّکَ، وَمُبَلِّغِ رِسالاتِکَ أَفْضَلَ وَأَحْسَنَ وَأَجْمَلَ وَأَکْمَلَ وَأَزْکى وَأَنْمى وَأَطْیَبَ وَأَطْهَرَ وَأَسْنى وَأَکْثَرَ مَا صَلَّیْتَ وَبارَکْتَ وَتَرَحَّمْتَ وَتَحَنَّنْتَ وَسَلَّمْتَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ عِبادِکَ وَأَ نْبِیائِکَ وَرُسُلِکَ وَصِفْوَتِکَ وَأَهْلِ الْکَرامَةِ عَلَیْکَ مِنْ خَلْقِکَ؛ اللّهُمَّ وَصَلِّ عَلَى عَلِیٍّ أَمِیرِ الْمُؤْمِنِینَ، وَوَصِیِّ رَسُولِ رَبِّ الْعالَمِینَ، عَبْدِکَ وَوَ لِیِّکَ وَأَخِی رَسُولِکَ وَحُجَّتِکَ عَلَى خَلْقِکَ، وَآیَتِکَ الْکُبْرى، وَالنَّبَاَ الْعَظِیمِ، وَصَلِّ عَلَى الصِّدِّیقَةِ الطَّاهِرَةِ فاطِمَةَ سَیِّدَةِ نِساءِ الْعالَمِینَ، وَصَلِّ عَلَى سِبْطَىِ الرَّحْمَةِ، وَ إِمامَىِ الْهُدى الْحَسَنِ وَالْحُسَیْنِ سَیِّدَیْ شَبابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَصَلِّ عَلَى أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِینَ؛ عَلِیِّ بْنِ الْحُسَیْنِ، وَمُحَمَّدِ بْنِ عَلِیٍّ، وَجَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، وَمُوسَى بْنِ جَعْفَرٍ، وَعَلِیِّ بْنِ مُوسى، وَمُحَمَّدِ بْنِ عَلِیٍّ، وَعَلِیِّ بْنِ مُحَمَّدٍ، وَالْحَسَنِ بْنِ عَلِیٍّ، وَالْخَلَفِ الْهادِی الْمَهْدِیِّ، حُجَجِکَ عَلَى عِبادِکَ، وَأُمَنائِکَ فِى بِلادِکَ صَلاةً کَثِیرَةً دائِمَةً»