Setelah kita membahas ketuhanan yang maha esa dalam pandangan Al-farabi, kita akan membahas ketuhanan dalam pandangan filsuf besar, Abu Ali Sina atau dibarat dikenal dengan Avichena. Dokter, ilmuwan, teolog dan filsuf besar Islam ini begitu banyak sumbangsihnya kepada Islam sehingga terkenal dipanggil dengan ” Syeikh Rais.”
Ibnu Sina adalah mercusuar dan lokomotif dari filsafat paripatetik dan ia penemu argumentasi Shiddiqin yang membuktikan keberadaan dan ke-esaan tuhan dengan argumentasi akal yang tidak terbantahkan. Walaupun setelahnya, banyak filsuf yang menyempurnakan argumentasi shiddiqin, namun peletak pertama argumentasi ini adalah Ibnu Sina sehingga bisa dikembangkan dan disempurnakan dikemudian hari.
Sebab Penamaan Burhan Shiddiqin
Shiddiqîn merupakan jamak dari kata shiddiq yang berarti orang yang benar dan jujur dalam tutur kata. As-Shiddiqin dapat pula diartikan orang-orang yang telah mencapai keimanan yang sangat tinggi. Argumen tersebut dinamakan sebagai burhân shiddiqin, karena beberapa kemungkinan:
1. Manusia shiddiq berada pada maqam penyaksian (mukasyafah) Zat Tuhan sehingga menggunakan metode ini.
2. Kemungkinan pertama lantaran argumen ini merupakan argumen yang paling utama dan paling kokoh yang digunakan untuk mengenal wajib al-wujud.
3. Kemungkinan kedua lantaran shiddiqin -sebagai hamba-hamba pilihan Tuhan- memilih dan menggunakan argumen ini untuk mengenal dan membuktikan wujud Tuhan.
Burhân shiddiqîn disebut sebagai burhân shiddiqîn, lantaran argumen ini menawarkan sebuah pendekatan yang menyampaikan manusia kepada Tuhan tanpa perantara, yaitu dengan menggunakan argumentasi dan menganalisa wujud manusia sampai pada wujud Tuhan secara langsung. [1]
Penjelasan Burhan Shiddiqin Ibnu Sina
Terminologi burhân shiddiqin pertama kali digunakan oleh Ibnu Sina untuk menetapkan keberadaan Tuhan kemudian setelah itu diulang kembali oleh Syeikh Thusi dalam kitabnya Al-Tajrid dan dijelaskan secara terperinci oleh Allamah Hilli dalam kitabnya Syarh Tajrid. Ia menguraikan argumen ini dalam kitabnya, Isyârat, sebagai berikut,
“Setiap keberadaan dari sisi konsep, (Mafhum) adakalanya ia bersifat Wâjib al-Wujud (necessary existence) atau bersifat mumkin al-wujud. Apabila eksisten tersebut adalah Wâjib al-Wujud maka maksud yang kita inginkan tercapai. Namun apabila ia adalah wujud kontingen (mumkin al-wujud) maka wujud kontingen memerlukan sesuatu untuk menjadi ada. Apabila sesuatu tersebut juga kontingen maka ia kembali memerlukan sesuatu yang lain untuk mengada dan demikian seterusnya hingga tak-berujung (infinite circle). Dan karena tasalsul (infinite circle) itu absurd maka kita membutuhkan sesuatu yang bukan kontingen melainkan necessary (mesti) dan sesuatu tersebut adalah Wâjib al-Wujud.”[2]
Penjelasan:
Setiap realitas kontingen berada pada dimensi antara keberadaan dan ketiadaan. Ia untuk menjadi ada membutuhkan sebab begitupula sebaliknya. Realitas kontingen seperti timbangan dua sisi yang sama rata dan untuk condong pada satu sisi membutuhkan pemberat. Pemberat keberadaan dan pemberat ketiadaan. Realitas kontingen untuk menjadi ada maka membutuhkan sebab keberadaan dan jika sebab itu adalah realitas kontingen pula, maka membutuhkan sebab ada yang lain dan begitu seterusnya hingga harus berakhir kepada sebab yang keberadaannya adalah subtansial atau disebut dengan wajibul wujud.
Penjelasan Allamah Thabathabai Terkait Argumen Shiddiqin
Allamah Thabathabai menjelaskan argumentasi Shiddiqin dengan gamblang dalam kitabnya, Nihayatul Hikmah sebagai berikut:
1. Kita melihat, mendengar dan merasakan bahwa disekitar kita adalah keberadaan yang tidak bisa kita ingkari. Kita lapar, haus, khawatir, takut, sedih, senang dan lain sebagainya adalah bukti kita merasakan realita itu.
2. Segala keberadaan yang kita rasakan adalah keharusan karena jika tidak, maka kita tidak akan pernah merasakan itu semua. Untuk itu segala yang kita rasakan adalah sebuah keharusan bukan ketiadaan atau keberadaan kontingen.
3. Kaidah Filsafat mengatakan “kullu ma lam yajib lam yujad” yaitu segala sesuatu yang belum wajib, (Necessary being) maka tidak akan pernah ada. Maksud dari kaidah ini adalah ketika sebab (cause) memberikan keberadaan kepada akibatnya,(Effect) maka keberadaan adalah sebuah keharusan (wujub) baginya. Dengan kata lain ketika sebab telah sempurna, (complete cause) maka kelazimannya adalah akibat keluar dari ketiadaan atau keberadaan kontingen menuju keharusan keberadaan. (Wujub)
4. Segala keberadaan yang kita rasakan jika bukan keberadaan secara esensial, maka ia adalah keberadaan aksidental. Jika keberadaan itu esensial(Bidzat) maka itulah wajibul wujud, namun jika keberadaan itu adalah aksidental, (Bilghair) maka ia membutuhkan sebab esensial. Jika tidak, akan terperosok kepada infinite circyle (tasalsul) tanpa ujung.[3]
Entitas Tunggal Wajib Al-Wujud Menurut Ibnu Sina
Ibnu Sina berpendapat bahwa Wajib al-Wujud adalah entitas non materi yang harus tunggal dan tidak jamak. Ia berpendapat bahwa entitas non-materi mustahil memiliki individu-individu yang beragam. Dengan demikian, wajibul wujud harus tunggal (esa). [4]
Penolakan Komposisi pada Wajib al- Wujud (Basith)
Wajibul Wujud menurut pandangan Ibnu Sina harus Indivisible.[5] (tak terkomposisi) Ibnu Sina berkata,
“Apabila entitas Wajibul Wujud tersusun dari dua bagian atau beberapa bagian, maka wujud-Nya niscaya akan bergantung pada bagian-bagianNya dan pada akhirnya setiap bagian akan bergantung kepada bagian yang lain dan itu jauh dari sifat wajibul wujud yang harus mandiri dari segala kebergantungan. Dengan demikian Wajibul wujud mustahil tersusun dari segala bentuk bagian- bagian.”[6]
Wajib al-Wujud tak tersusun dari Wujud dan Kuiditas (Mahiyah)
Wajibul Wujud menurut pandangan Ibnu Sina tidak terbentuk dari wujud dan kuiditas, seperti yang terjadi kepada entitas kontinge . Ibnu Sina berkata,
“Segala entitas yang dzatnya adalah keberadaan itu sendiri, maka tidak akan terususun dari kuiditas. Karena wujud bukan kuiditas dan kuiditas bukanlah wujud. Ketika meyakini bahwa wajibul wujud adalah entitas nirbatas, maka tidak akan terangkap dari kuiditas karena kuiditas adalah batasan dan ketika terbatas, maka bukanlah wajibul wujud.[7]
Wajibul Wujud Tidak Memiliki Sekutu
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina meyakini bahwa Wajibul wujud haruslah entitas nirbatas dan ketika nirbatas, maka harus tunggal karena jika Dwitunggal, maka satu sama lain akan saling membatasi dan pada akhirnya akan terbatas.
Jika ada dua Wajibul Wujud, maka keduanya harus memiliki sisi persamaan dan sisi perbedaan. Jika tidak ada sisi perbedaan, maka hakikatnya adalah satu karena kelaziman dari dua adanya sisi perbedaan yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Ketika memiliki perbedaan, maka perkara yang membedakan itu adalah perkara subtansial (Dzat) ataukah Aksidental? (Aradhi) Jika perkara subtansial, maka wajibul wujud membutuhkan pembeda tersebut agar menjadi wajibul wujud dan ketika wajibul wujud membutuhkan rangkapannya, maka jelas Ia bukanlah wajibul wujud.
Jika pembeda itu bersifat aksidental, maka sebagaimana kaidah filsafat bahwa setiap aksiden membutuhkan sebab untuk menjadi ada. Jika sebabnya adalah Dzat wajibul wujud itu sendiri, maka terjadi paradox karena sebelumnya sepakat bahwa pembeda itu harus diluar subtansi wajibul wujud sehingga disebut wajibul wujud. Jika sebabnya diluar entitas wajibul wujud, meniscayakan kebergantungan wajibul wujud kepada sesuatu yang lain dan itu mustahil.
Ibnu Sina mengatakan,
” Ketika wajibul wujud dwitunggal, meniscayakan perbedaan dan persamaan antara keduanya dan itu melazimkan kebergantungan kepada rangkapannya atau selainnya.”[8]
CATATAN:
[1] Muhammad bin Ibrahim Shadruddin Syirazi, al-Hikmah al-Muta’âliya fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah, jil. 6, hal. 13, Cetakan Ketiga, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, 1981 M.
[2] Ibnu Sina, al-Isyârat wa al-Tanbihât, hal. 97-98, Cetakan Pertama, Nasyr al-Balaghah, Qum, 1375.
[3] Nihayah Al-Hikmah, Pasal ke-5, hal.58
[4] Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat , jilid pertama, bab keempat, hal. 555
[5] Tidak terdiri dari bagian
[6] Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal.570
[7] Ibid. Hal.590
[8] Ibid. Hal.602