@laravelPWA
Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Pandangan Al-Farabi
  • Judul: Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Pandangan Al-Farabi
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 7:31:52 15-6-1404

Pancasila adalah Asas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pedoman seluruh rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara dan tonggak dalam pembuatan segala peraturan perundang-undangan negara serta berbagai peraturan lainnya di berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan.

Untuk itu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat terdapat rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia atau disebut juga sebagai dasar falsafah negara (philosofische Grondslag) dan ideologi negara (staatidee).

Sila pertama berbicara mengenai pedoman hidup beragama dan meyakini adanya tuhan yang maha agung dan nirbatas. Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia tidak luput dalam menafsirkan sila pertama yang berkaitan dengan ketuhanan bahwa Allah swt yang diyakini muslimin adalah nirbatas dan maha sempurna dan keniscayaan dari nirbatas dan maha sempurna adalah esa.

Esensi manusia adalah berakal dan segala argumentasi yang diterima akal pasti diterima manusia. Untuk itu Filosof muslim berusaha mencoba menjabarkan argumentasi ketuhanan yang maha esa melalui pintu akal agar diterima oleh seluruh manusia yang berakal.

Filsuf muslim berusaha untuk membuktikan keberadaan Tuhan dengan argumentasi-argumentasi akal agar mampu diterima oleh seluruh manusia yang berakal. Baik pengikut Paripatetik, Iluminasionis atau Hikmah Mutaaliyah seluruhnya berusaha membuktikan keberadaan tuhan dengan berbagai macam argumentasi.

Kita akan mengulas sila pertama Pancasila dalam kacamata filsuf muslim untuk mengetahui ketuhanan dalam pandangan mereka seperti apa.

Argumentasi Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut  Al-Farabi

Abu Nashr Al-Farabi (870-950) adalah Filsuf besar Islam berasal dari Farab, Kazakhastan.[1] Namun menurut Ibnu Nadhim Al-Farabi berasal dari kota Faryab, Khurasan. [2] Beliau adalah pengikut pemikiran Filsafat Paripatetik dan beliau juga salah satu dari filsuf besar muslim yang berusaha menyusun argumentasi ketuhanan dengan argumentasi Imkan dan Wujub  (Contingent and necessary existence)

Al-Farabi didalam kitabnya Tsamaniyah Rasail mengatakan bahwa Wujud (Existence) terbagi menjadi dua: Pertama adalah keberadaan  baginya bukanlah sebuah keharusan, melainkan untuk menjadi ada membutuhkan keberadaan yang lain yang di istilahi dengan mumkinul wujud. (Contingent existence) Kedua keberadaan baginya adalah sebuah keharusan dan keberadaan merupakan esensi dirinya yang di istilahi dengan wajibul wujud. (necessary existence)

Mumkinul wujud untuk menjadi ada membutuhkan sebab dan jika sebab itu bersifat contingent, maka akan menjadi mata rantai contingent yang tidak ada habisnya((infinite circle) dan itu tidak bisa diterima akal. Untuk itu keberadaan contingent harus berakhir kepada keberadaan necessary sehingga menjadi ada dan itu disebut dengan wajibul wujud.[3]

Dalam pandangan Al-Farabi keberadaan hanya terbatas pada wajib dan mumkin. Adapun realitas mumtani Al-Wujud (Impossible being) dalam pandangannya bukanlah sebuah realitas melainkan perkara itibari. (derivative) Untuk itu realitas contingent ketika menjadi ada maka ia berkedudukan sebagai wajibul wujud bersifat aksidental sebagai akibat dari keberadaan yang bersifat subtansial.

Sifat Necessary Being (Wajibul Wujud) menurut Al-Farabi

Al-Farabi mendefinisikan Wajibul Wujud sebagai keberadaan yang maha sempurna sebagaimana beliau sebutkan didalam kitabnya Fushul Muntaziah. Beliau berkata,

أنّه لا یمکن أن‏ یتوهم‏ کمال أزید من کماله، و لا وجود أتمّ من وجوده و لا حقیقة أکبر من حقیقته4

“Sesungguhnya Ia (Wajibul wujud) Tidak mungkin bisa digambarkan kesempurnaan lebih sempurna dariNya dan tidak ada keberadaan lebih sempurna dari keberadaanNya dan tidak ada hakikat lebih besar dari hakikatNya.”

Beliau juga mengatakan,

أما الواجب‏ فلیس فیه نقص أصلاً و لا بوجه من الوجوه، و لا یمکن أن یکون وجود أکمل و أفضل من وجوده5

“Adapun Wajibul Wujud sama sekali tidak memiliki kekurangan (cacat) dari segala bentuk dan dimensi dan tidak mungkin ada keberadaan yang lebih sempurna dan utama dari keberadaanNya.”

Ketika Tuhan nirbatas dan maha sempurna, maka keniscayaannya adalah realitas tunggal. Karena jika dwitunggal atau trinitas, maka tidak bisa disebut sebagai realitas nirbatas karena satu sama lain akan saling membatasi sehingga menjadi terbatas. Batasan dalam Wajibul wujud menurut Al-Farabi adalah kekurangan dan cacat dan ketika cacat, maka bukanlah wajibul wujud.

Dalam kacamata Al-Farabi ketuhanan yang maha esa adalah realitas dari sifat-sifat wajibul wujud dan ketika wajibul wujud, maka harus tunggal, nirbatas, sempurna dan paling utama. Al-Farabi menyebutnya dengan Wujud Al-Awwal yang hanya menciptakan akal pertama karena menurut Al-Farabi entitas tunggal hanya menciptakan sesuatu yang tunggal. (Al-Wahid la yashdur anhu illal wahid) Setelah itu akal pertama menciptakan akal kedua begitu seterusnya hingga akal kesepuluh atau dikenal dengan aqlu fa’al dan dari akal kesepuluhlah terciptanya langit dan bumi.[6]

[1] Tarikh Falsafah fil Islam, Muhamad Abdul Hadi, Hal. 196

[2]  Muhamad Ridha Fasyahi, Aresthu, Baghdad, Aqle Yunani be wahye qurani, Hal. 28

[3] Al- Farabi, Tsamaniyah Rasail, Hal. 22

[4] Al-Farabi, Fushuk Muntaziah, Fashl 37

[5] Farabi, Siyasah Madaniyah, Hal.39

[6] Al-Farabi, Risalah Fi Maanil Aql, Hal. 50