@laravelPWA
Al-Qur’an menurut para imam Syiah
  • Judul: Al-Qur’an menurut para imam Syiah
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 12:49:0 12-6-1404

Banyak sekali riwayat-riwayat dari Ahlul Bait

As yang menjelaskan bahwa Qur’an yang ada di

tengah-tengah masyarakat adalah Qur’an yang

telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw.

Jika kita memperhatikan perkataan para imam,

kita akan dapati bahwa mereka menyeru kita

untuk menjadikan Qur’an yang ada di tengah-

tengah kita ini sebagai poros argumen kita,

sebagai sumber pendidikan umat dan hukum-

hukum. Mereka memerintahkan kita untuk

membaca, menjaga, menghafal dan bertadabur

dalam ayat-ayat Qur’an. Ini semua adalah

bukti betapa mereka menjunjung tinggi Al-

Qur’an yang ada di tangan umat seperti yang

ada sekarang.

Di sini kami akan membawakan beberapa ucapan

para imam Ahlul Bait as:

1. Imam Ali As menyeru umat Islam untuk

memperhatikan Qur’an dan beliau juga

menjelaskan ilmu-ilmunya. Hal itu membuktikan

bahwa Qur’an yang ada di tengah-tengah

masyarakat adalah Al-Qur’an yang telah

diturunkan kepada nabi. Berikut beberapa dari

perkataan beliau tentang Qur’an:

A. Beliau berkata: “Kitab Tuhan kalian ada di

tengah-tengah kalian, menjelaskan halal dan

haram-Nya, wajib dan mustahab, nasikh dan

mansukh, mubah dan terlarang, khusus dan

umum, nasehat dan contoh-contoh, mutlaq dan

muqayyad, muhkam dan mutasyabih. Qur’an

menjelaskan ayat-ayatnya yang rumit, dan

menerangkan segala yang tak jelas. Sebagian

hukum-hukum yang ada di ayat-ayatnya dinaskh

(dinyatakan tidak wajib) melalui sunah nabi,

dan sebagian kewajiban yang telah dijelaskan

dalam sunah nabi, dinyatakan tidak wajib

dalam Al-Qur’an. Ada sebagian hal yang hanya

wajib untuk beberapa masa saja lalu kewajiban

itu dicabut….”[1]

B. Beliau juga berkata: “Apakah Tuhan

menurunkan agama yang tak sempurna lalu

meminta mereka untuk menyempurnakan? Apakah

Tuhan menurunkan agama yang sempurna namun

nabi-Nya tidak menjalankan tugasnya untuk

menyampaikannya dengan baik? Padahal Tuhan

berfirman: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun

di dalam Al Kitab.” (QS. Al-An’am [6] :

38)”[2]

C. Dalam sebuah surat yang ia tulis untuk

Harits Hamdani ia berkata: “Berpeganglah pada

tali Qur’an dan carilah pelajaran dan nasehat

darinya sertia halalkan apa yang

dihalalkannya dan haramkan apa yang telah

diharamkannya.”[3]

D. Beliau juga pernah berkata: “Iman berbuah

dengan membaca Qur’an.”[4]

E. Ia selalu mengajak umat Islam untuk

bertadabur dan berfikir pada ayat-ayat

Qur’an. Ia berkata: “Ketahuilah bahwa membaca

Qur’an saja tanpa memikirkannya sama sekali

tidak ada kebaikan padanya. Fahamilah pula

bahwa ibadah tanpa memahami agama sama sekali

tak ada manfaatnya.”[5]

Jelas “membaca Qur’an” yang disinggung oleh

sang imam adalah membaca Qur’an sebagaimana

yang semua orang lakukan, bukan selainnya.

F. Beliau pernah berkata tentang Al-Qur’an:

“Tuhan telah menjadikannya sebagai pemuas

rasa haus para ulama, berseminya hati

fuqaha’, penerang jalan hamba-hamba saleh,

dan obat yang tak ada rasa sakit lagi

setelahnya. Qur’an adalah cahaya yang

dengannya tak ada lagi kegelapan.”[6]

1. Imam Hasan As dalam menggambarkan Qur’an

berkata: “Sesungguhnya dalam Qur’an ini

terdapat mata air dan obat untuk hati. Maka

semua orang harus berjalan di bawah cahayanya

dan menyesuaikan dirinya dengan Qur’an, dan

hendaknya diketahui bahwa talqin adalah hayat

hati yang sadar dan berguna untuk orang yang

berjalan di jalan yang gelap dengan

menggunakan cahaya.”[7]

3. Imam Sajjad As dalam doa khatam Qur’an

berkata: “Ya Tuhan, karena Engkau telah

memberi taufik kepada kami untuk membacanya,

maka berilah kami taufik pula untuk menjadi

orang-orang yang mengenal hak-haknya dan

pasrah pada hukum-hukumnya.”[8]

4. Diriwayatkan dari Imam Shadiq as:

“Sesungguhnya Allah Swt berfirman kepada

orang-orang yang beriman: “Ketika dibacakan

Qur’an maka dengarkanlah.”[9]

Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya Qur’an

memiliki batin (hal yang berada di dalam)…

dan tak ada yang lebih jauh dari akal

seseorang selain tafsir Qur’an. Di awal ayat

ada satu masalah, dan begitu juga di akhir

ayat, yang seluruhnya saling berkaitan…”[10]

Ia juga pernah berkata: “Barang siapa membaca

Qur’an di Makah dan mengkhatamkannya dalam

satu minggu, dari hari jum’at hingga jum’at,

pahalanya adalah sebanyak jumlah awal jum’at

dunia hingga akhir jum’at dunia. Meskipun di

hari-hari lainnya Qur’an dibaca, pahalanya

pun demikian.”[11]

5. Ali bin Salim menukil dari ayahnya: Aku

bertanya kepada Imam Shadiq as: Wahai putra

Rasulullah, apa yang kau katakan tentang

Qur’an? Ia menjawab: Itu adalah kalam Allah,

perkataan Allah, kitab Allah, wahyu Allah

yang telah diturunkan, dan itu adalah kitab

yang “Yang tidak datang kepadanya [Al Qur’an]

kebathilan baik dari depan maupun dari

belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang

Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-

Fushilat [41] : 42)[12]

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah Swt

menjadikan wilayah terhadap kami sebagai

poros Al-Qur’an dan seluruh kitab. Ayat-ayat

muhkam Qur’an mengitarinya dan berkat wilayah

kami kitab-kitab diberikan dan iman menjadi

terang dan jelas.”[13]

Ia juga berkata: “Barang siapa menafsirkan

Qur’an dengan pendapat pribadinya, ia takkan

mendapatkan pahala. Dan jika ia salah, maka

dosanya akan ditimpakan pada dirinya

sendiri.”[14]

Para faqih banyak memberikan penjelasan

tentang surah-surah pendek yang kita baca

dalam shalat harian kita.[15] Sebagaimana

Syaikh Shaduq telah menjelaskan pahala

membaca tiap surah Qur’an berdasarkan

hadits-hadits yang diriwayatkan dari

ma’shumin.[16]

Kebanyakan ulama besar Syiah seperti Syaikh

Shaduq berdasarkan riwayat menyatakan bahwa

Al-Qur’an terjaga dari perubahan.[17]

Diriwayatkan dari Imam Baqir as, dari

ayahnya, dari kakeknya, dari Rasulullah Saw

bahwa beliau bersabda:

“Barang siapa membaca 10 ayat setiap malam,

maka ia tidak akan dianggap sebagai orang

yang lalai. Barang siapa membaca 50 ayat, ia

akan desebut sebagai orang yang ingat. Yang

membaca 100 ayat, disebut dengan qanitin

(orang-orang yang qunut). Yang membaca 200

ayat disebut dengan orang-orang yang khusyu’.

Orang yang membaca 300 ayat, disebut dengan

orang yang menang. Orang yang membaca 500

ayat disebut dengan orang yang berjuang

(mujtahidin). Dan barang siapa membaca seribu

ayat Qur’an, maka pahala tak terhingga akan

dituliskan untuknya.”[18]

Diriwayatkan dari Imam Shadiq as: “Hendaklah

kalian membaca Qur’an, karena tingkatan-

tingkatan surga tergantung pada jumlah ayat-

ayat Qur’an. Ketika hari kiamat tiba, kepada

orang yang membaca Qur’an akan dikatakan:

“Bacalah, dan naiklah ke atas. Setiap ayat

yang ia baca mengangkatnya satu

tingkatan.”[19]

Begitu pula telah diriwayatkan dari beliau:

“Setiap mukmin yang mengaku Syiah kami, wajib

baginya untuk membaca surah Al-Jumu’ah di

malam Jum’at dan juga surah Al-A’la. Jika ia

melakukannya, artinya ia telah menjalankan

sunah nabinya, dan pahalanya di sisi Allah

adalah surga.”[20]

6. Diriwayatkan dari Rabban bin Shilat, bahwa

ia bertanya kepada Imam Ridha as: “Wahai

putra Rasulullah, apa menurutmu tentang

Qur’an?” Lalu beliau menjawab: “Qur’an ini

adalah kalam Allah. Janganlah kalian

mendahuluinya, dan janganlah kalian mencari

petunjuk dari selainnya, karena kalau tidak

kalian akan tersesat.”[21]

Dalam sebuah tulisan yang ia tujukan kepada

Ma’mun tentang syariat dan agama Islam,

beliau menulis: “Mengimani seluruh yang

dibawakan oleh nabi Muhammad Saw adalah

haqqul mubin. Kita harus membenarkan apa yang

dibawakan oleh Rasulullah Saw dan nabi-nabi

sebelumnya, serta kitab Allah ini yang tidak

ada kebatilan sama sekali di dalamnya. Dari

awal hingga akhir kitab Allah adalah haq dan

benar, seluruh ayatnya, yang muhkam atau

mutasyabih, khusus atau umum, ancaman atau

imbalan, nasikh atau mansukh, kisah dan

nasehatnya, semuanya kita imani. Tak satupun

makhluk Allah Swt dapat membawakan

tandingannya.”[22]

 

CATATAN :


[1]. Nahjul Balaghah: khutbah pertama,

terjemahan Muhammad Dashti.

[2]. Syarah Nahjul Balaghah: jil. 1, hal.

288, khutbah 18, terjemahan Muhammad Dashti.

[3]. Ibid: jil. 1, hal. 7, khutbah 187.

[4]. Ghurarul Hikam: hadits no. 7633.

[5]. Biharul Anwar: jil. 92, hal. 211.

[6]. Nahjul Balaghah: khutbah 198; Syarah

Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid: jil. 10,

hal. 199.

[7]. Biharul Anwar: jil. 78, hal. 112.

[8]. Shahifah Sajjadiyah: doa ke 42.

[9]. Biharul Anwar: jil. 92, hal. 222.

[10]. Ibid: jil. 92, hal. 20.

[11]. Tsawabul A’mal wa Iqabul A’mal: hal.

125.

[12]. Amali, Syaikh Shaduq: hal. 545.

[13]. Biharul Anwar: jil. 92, hal. 27.

[14]. Ibid: jil. 92, hal. 110.

[15]. Jawahirul Kalam: jil. 9, hal. 400.

[16]. Tsawabul A’mal: hal. 130.

[17]. Ibid.

[18]. Al-I’tiqadat, Syaikh Shaduq: hal. 93.

[19]. Al-Amali, Syaikh shaduq: hal. 359.

[20]. Tsawabul A’mal: hal. 146.

[21]. Uyun Akhbar Ar-Ridha: jil. 2, hal. 546.

[22]. Ibid: jil. 2, hal. 130.