Banyak sekali riwayat-riwayat dari Ahlul Bait
As yang menjelaskan bahwa Qur’an yang ada di
tengah-tengah masyarakat adalah Qur’an yang
telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw.
Jika kita memperhatikan perkataan para imam,
kita akan dapati bahwa mereka menyeru kita
untuk menjadikan Qur’an yang ada di tengah-
tengah kita ini sebagai poros argumen kita,
sebagai sumber pendidikan umat dan hukum-
hukum. Mereka memerintahkan kita untuk
membaca, menjaga, menghafal dan bertadabur
dalam ayat-ayat Qur’an. Ini semua adalah
bukti betapa mereka menjunjung tinggi Al-
Qur’an yang ada di tangan umat seperti yang
ada sekarang.
Di sini kami akan membawakan beberapa ucapan
para imam Ahlul Bait as:
1. Imam Ali As menyeru umat Islam untuk
memperhatikan Qur’an dan beliau juga
menjelaskan ilmu-ilmunya. Hal itu membuktikan
bahwa Qur’an yang ada di tengah-tengah
masyarakat adalah Al-Qur’an yang telah
diturunkan kepada nabi. Berikut beberapa dari
perkataan beliau tentang Qur’an:
A. Beliau berkata: “Kitab Tuhan kalian ada di
tengah-tengah kalian, menjelaskan halal dan
haram-Nya, wajib dan mustahab, nasikh dan
mansukh, mubah dan terlarang, khusus dan
umum, nasehat dan contoh-contoh, mutlaq dan
muqayyad, muhkam dan mutasyabih. Qur’an
menjelaskan ayat-ayatnya yang rumit, dan
menerangkan segala yang tak jelas. Sebagian
hukum-hukum yang ada di ayat-ayatnya dinaskh
(dinyatakan tidak wajib) melalui sunah nabi,
dan sebagian kewajiban yang telah dijelaskan
dalam sunah nabi, dinyatakan tidak wajib
dalam Al-Qur’an. Ada sebagian hal yang hanya
wajib untuk beberapa masa saja lalu kewajiban
itu dicabut….”[1]
B. Beliau juga berkata: “Apakah Tuhan
menurunkan agama yang tak sempurna lalu
meminta mereka untuk menyempurnakan? Apakah
Tuhan menurunkan agama yang sempurna namun
nabi-Nya tidak menjalankan tugasnya untuk
menyampaikannya dengan baik? Padahal Tuhan
berfirman: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun
di dalam Al Kitab.” (QS. Al-An’am [6] :
38)”[2]
C. Dalam sebuah surat yang ia tulis untuk
Harits Hamdani ia berkata: “Berpeganglah pada
tali Qur’an dan carilah pelajaran dan nasehat
darinya sertia halalkan apa yang
dihalalkannya dan haramkan apa yang telah
diharamkannya.”[3]
D. Beliau juga pernah berkata: “Iman berbuah
dengan membaca Qur’an.”[4]
E. Ia selalu mengajak umat Islam untuk
bertadabur dan berfikir pada ayat-ayat
Qur’an. Ia berkata: “Ketahuilah bahwa membaca
Qur’an saja tanpa memikirkannya sama sekali
tidak ada kebaikan padanya. Fahamilah pula
bahwa ibadah tanpa memahami agama sama sekali
tak ada manfaatnya.”[5]
Jelas “membaca Qur’an” yang disinggung oleh
sang imam adalah membaca Qur’an sebagaimana
yang semua orang lakukan, bukan selainnya.
F. Beliau pernah berkata tentang Al-Qur’an:
“Tuhan telah menjadikannya sebagai pemuas
rasa haus para ulama, berseminya hati
fuqaha’, penerang jalan hamba-hamba saleh,
dan obat yang tak ada rasa sakit lagi
setelahnya. Qur’an adalah cahaya yang
dengannya tak ada lagi kegelapan.”[6]
1. Imam Hasan As dalam menggambarkan Qur’an
berkata: “Sesungguhnya dalam Qur’an ini
terdapat mata air dan obat untuk hati. Maka
semua orang harus berjalan di bawah cahayanya
dan menyesuaikan dirinya dengan Qur’an, dan
hendaknya diketahui bahwa talqin adalah hayat
hati yang sadar dan berguna untuk orang yang
berjalan di jalan yang gelap dengan
menggunakan cahaya.”[7]
3. Imam Sajjad As dalam doa khatam Qur’an
berkata: “Ya Tuhan, karena Engkau telah
memberi taufik kepada kami untuk membacanya,
maka berilah kami taufik pula untuk menjadi
orang-orang yang mengenal hak-haknya dan
pasrah pada hukum-hukumnya.”[8]
4. Diriwayatkan dari Imam Shadiq as:
“Sesungguhnya Allah Swt berfirman kepada
orang-orang yang beriman: “Ketika dibacakan
Qur’an maka dengarkanlah.”[9]
Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya Qur’an
memiliki batin (hal yang berada di dalam)…
dan tak ada yang lebih jauh dari akal
seseorang selain tafsir Qur’an. Di awal ayat
ada satu masalah, dan begitu juga di akhir
ayat, yang seluruhnya saling berkaitan…”[10]
Ia juga pernah berkata: “Barang siapa membaca
Qur’an di Makah dan mengkhatamkannya dalam
satu minggu, dari hari jum’at hingga jum’at,
pahalanya adalah sebanyak jumlah awal jum’at
dunia hingga akhir jum’at dunia. Meskipun di
hari-hari lainnya Qur’an dibaca, pahalanya
pun demikian.”[11]
5. Ali bin Salim menukil dari ayahnya: Aku
bertanya kepada Imam Shadiq as: Wahai putra
Rasulullah, apa yang kau katakan tentang
Qur’an? Ia menjawab: Itu adalah kalam Allah,
perkataan Allah, kitab Allah, wahyu Allah
yang telah diturunkan, dan itu adalah kitab
yang “Yang tidak datang kepadanya [Al Qur’an]
kebathilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang
Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-
Fushilat [41] : 42)[12]
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah Swt
menjadikan wilayah terhadap kami sebagai
poros Al-Qur’an dan seluruh kitab. Ayat-ayat
muhkam Qur’an mengitarinya dan berkat wilayah
kami kitab-kitab diberikan dan iman menjadi
terang dan jelas.”[13]
Ia juga berkata: “Barang siapa menafsirkan
Qur’an dengan pendapat pribadinya, ia takkan
mendapatkan pahala. Dan jika ia salah, maka
dosanya akan ditimpakan pada dirinya
sendiri.”[14]
Para faqih banyak memberikan penjelasan
tentang surah-surah pendek yang kita baca
dalam shalat harian kita.[15] Sebagaimana
Syaikh Shaduq telah menjelaskan pahala
membaca tiap surah Qur’an berdasarkan
hadits-hadits yang diriwayatkan dari
ma’shumin.[16]
Kebanyakan ulama besar Syiah seperti Syaikh
Shaduq berdasarkan riwayat menyatakan bahwa
Al-Qur’an terjaga dari perubahan.[17]
Diriwayatkan dari Imam Baqir as, dari
ayahnya, dari kakeknya, dari Rasulullah Saw
bahwa beliau bersabda:
“Barang siapa membaca 10 ayat setiap malam,
maka ia tidak akan dianggap sebagai orang
yang lalai. Barang siapa membaca 50 ayat, ia
akan desebut sebagai orang yang ingat. Yang
membaca 100 ayat, disebut dengan qanitin
(orang-orang yang qunut). Yang membaca 200
ayat disebut dengan orang-orang yang khusyu’.
Orang yang membaca 300 ayat, disebut dengan
orang yang menang. Orang yang membaca 500
ayat disebut dengan orang yang berjuang
(mujtahidin). Dan barang siapa membaca seribu
ayat Qur’an, maka pahala tak terhingga akan
dituliskan untuknya.”[18]
Diriwayatkan dari Imam Shadiq as: “Hendaklah
kalian membaca Qur’an, karena tingkatan-
tingkatan surga tergantung pada jumlah ayat-
ayat Qur’an. Ketika hari kiamat tiba, kepada
orang yang membaca Qur’an akan dikatakan:
“Bacalah, dan naiklah ke atas. Setiap ayat
yang ia baca mengangkatnya satu
tingkatan.”[19]
Begitu pula telah diriwayatkan dari beliau:
“Setiap mukmin yang mengaku Syiah kami, wajib
baginya untuk membaca surah Al-Jumu’ah di
malam Jum’at dan juga surah Al-A’la. Jika ia
melakukannya, artinya ia telah menjalankan
sunah nabinya, dan pahalanya di sisi Allah
adalah surga.”[20]
6. Diriwayatkan dari Rabban bin Shilat, bahwa
ia bertanya kepada Imam Ridha as: “Wahai
putra Rasulullah, apa menurutmu tentang
Qur’an?” Lalu beliau menjawab: “Qur’an ini
adalah kalam Allah. Janganlah kalian
mendahuluinya, dan janganlah kalian mencari
petunjuk dari selainnya, karena kalau tidak
kalian akan tersesat.”[21]
Dalam sebuah tulisan yang ia tujukan kepada
Ma’mun tentang syariat dan agama Islam,
beliau menulis: “Mengimani seluruh yang
dibawakan oleh nabi Muhammad Saw adalah
haqqul mubin. Kita harus membenarkan apa yang
dibawakan oleh Rasulullah Saw dan nabi-nabi
sebelumnya, serta kitab Allah ini yang tidak
ada kebatilan sama sekali di dalamnya. Dari
awal hingga akhir kitab Allah adalah haq dan
benar, seluruh ayatnya, yang muhkam atau
mutasyabih, khusus atau umum, ancaman atau
imbalan, nasikh atau mansukh, kisah dan
nasehatnya, semuanya kita imani. Tak satupun
makhluk Allah Swt dapat membawakan
tandingannya.”[22]
CATATAN :
[1]. Nahjul Balaghah: khutbah pertama,
terjemahan Muhammad Dashti.
[2]. Syarah Nahjul Balaghah: jil. 1, hal.
288, khutbah 18, terjemahan Muhammad Dashti.
[3]. Ibid: jil. 1, hal. 7, khutbah 187.
[4]. Ghurarul Hikam: hadits no. 7633.
[5]. Biharul Anwar: jil. 92, hal. 211.
[6]. Nahjul Balaghah: khutbah 198; Syarah
Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid: jil. 10,
hal. 199.
[7]. Biharul Anwar: jil. 78, hal. 112.
[8]. Shahifah Sajjadiyah: doa ke 42.
[9]. Biharul Anwar: jil. 92, hal. 222.
[10]. Ibid: jil. 92, hal. 20.
[11]. Tsawabul A’mal wa Iqabul A’mal: hal.
125.
[12]. Amali, Syaikh Shaduq: hal. 545.
[13]. Biharul Anwar: jil. 92, hal. 27.
[14]. Ibid: jil. 92, hal. 110.
[15]. Jawahirul Kalam: jil. 9, hal. 400.
[16]. Tsawabul A’mal: hal. 130.
[17]. Ibid.
[18]. Al-I’tiqadat, Syaikh Shaduq: hal. 93.
[19]. Al-Amali, Syaikh shaduq: hal. 359.
[20]. Tsawabul A’mal: hal. 146.
[21]. Uyun Akhbar Ar-Ridha: jil. 2, hal. 546.
[22]. Ibid: jil. 2, hal. 130.