Apakah ada hal yang sangat mendesak Imam Husain as.
untuk melakukan shalat dhuhur dan ashar di siang hari
Asyura sehingga karenanya banyak sahabat yang mati?
Shalat adalah tiang agama[1] dan tali pengikat yang
kuat antara seorang hamba dengan Tuhannya. Seorang yang
beriman dikenal dengan shalatnya dan dengan shalat
itulah seorang hamba terus naik ke langit menuju
derajat kedekatan dengan Tuhan.[2]
Shalat adalah cara pendekatan diri kepada Tuhan dan
cahaya mata para nabi.[3] Shalat adalah awal dan akhir
nasehat Rasulullah saw.[4] Shalat adalah pelindung jiwa
dari kotoran dan nista.[5] Bahkan shalat yang tak
berjiwa pun dapat menjaga seorang manusia dari
perbuatan dosa.[6]
Muawiyah bin Wahab—salah satu sahabat Imam Shadiq as.—
bertanya kepada sang Imam, “Perbuatan terbaik apa yang
dapat mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya dan
Tuhan pun sangat menyukai perbuatan itu?” Imam
menjawab, “Setelah mengenal Tuhan, aku tidak melihat
ada yang lebih afdhal daripada shalat.”[7]
Jika tujuan dari perjuangan Imam Husain as. adalah
menghidupkan ajaran Tuhan dan memberantas kezaliman,
sedangkan shalat adalah tiang agama, maka apa yang
mencegah beliau untuk mendirikan shalat di padang
Karbala meskipun sejadahnya adalah darah? Di siang hari
Asyura, ketika matahari mulai zawal, Abu Tsamamah
Shaidawi mengabarkan waktu shalat kepada Imam Husain
as. dengan harapan ia dapat melakukan shalat jamaah
yang dipimpin oleh beliau kemudian setelah itu
bersama-sama menemui Sang Kuasa. Imam Husain as.
berkata kepadanya, “Engkau telah mengingatkanku akan
tibanya waktu shalat. Allah akan membangkitkanmu
bersama orang-orang yang mendirikan shalat.”[8]
Imam Husain as. dan beberapa orang dari sahabatnya
melaksanakan shalat dhuhur dan ashar meskipun anak
panah menghujani mereka dari segala arah. Sebagian dari
mereka jatuh bersimbah darah dan syahid menemui dzat
yang dicintai.
Ibadah, munajat dan bacaan ayat-ayat suci Imam Husain
as., keluarga dan sahabatnya di malam Asyura adalah
fenomena peribadatan yang terindah. Al Husain as. telah
mempelajari pelajaran cinta terhadap shalat dan
bermunajat kepada Al Haq dari ayahnya. Ibnu Abbas
ketika berada di medan peperangan Shiffin menatap Imam
Ali as. yang tengah menengadahkan kepalanya kearah
langit seakan menanti sesuatu. Ia bertanya kepada
beliau, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau sedang
mengkhawatirkan sesuatu?” Beliau menjawab, “Aku sedang
menunggu tibanya waktu shalat.” Ibnu Abbas berkata,
“Kita tidak bisa melaksanakan shalat di saat genting
seperti ini!” Imam Ali as. menjawab, “Sesungguhnya kita
memerangi mereka hanya karena memperjuangkan shalat.”
Jika para pemimpin kita saja selalu mementingkan shalat
baik di kondisi yang sangat genting seperti itu, apakah
kita pantas untuk menganggap remeh shalat awal waktu
dalam keadaan biasa-biasa saja? Apakah pantas kita
mengaku sebagai pecinta mereka akan tetapi kita tidak
meniru perilaku mereka? Kita harus memahami arti
shalat; yang mana mereka semuanya berjuang untuk
didirikannya shalat.
Mari kita bertanya kepada diri kita sendiri tentang
seperti apa kenikmatan shalat, doa dan tilawah Qur’an
serta rahasia apa yang ada padanya sehingga Imam Husain
as. tidak mau meninggalkannya meski di saat-saat
seperti itu? Beliau mengutus Abbas as. ke arah para
musuh untuk meminta mereka mengundur peperangan dan di
malam Asyura beliau berkata kepadanya, “Semoga malam
ini kita bisa menjalankan shalat yang banyak dan
bermunajat kepada Tuhan serta meminta maaf-Nya.
Sesungguhnya Tuhan tahu betapa aku mencintai shalat,
tilawah Qur’an, berdoa dan beristighfar.”[9]
Betapa agungnya shalat dan munajat sehingga Imam Husain
as. lebih mendahulukan shalat daripada keselamatan
jasmaninya dan meminta musuh untuk mengundur peperangan
agar beliau mendapat kesempatan untuk menjalankan
ibadah tersebut.
CATATAN :
[1] Mizanul Hikmah, jilid 5, halaman 368, hadis ke-
10243.
[2] Ibid, hadis ke-10238.
[3] Ibid, halaman 367, hadis ke-10235.
[4] Ibid, hadis ke-10234.
[5] Al Ankabut: 45.
[6] Mizanul Hikmah, jilid 5, halaman 371, hadis ke-
10254.
[7] Ibid, halaman 369, hadis ke-10245.
[8] Biharul Anwar, jilid 45, halaman 21.
[9] Biharul Anwar, jilid 44, halaman 392.