@laravelPWA
Imam Husain as tidak mencelakai diri sendiri
  • Judul: Imam Husain as tidak mencelakai diri sendiri
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 2:1:42 15-6-1404

Berangkatnya Imam Husain as ke Karbala, padahal beliau

sendiri tahu bahwa ia, keluarga dan kerabatnya akan

mati, apakah tidak bertentangan dengan ayat yang

berbunyi: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu

sendiri ke dalam kebinasaan.”[1]?

Penjelasan: berdasarkan ayat di atas, bunuh diri adalah

perbuatan yang diharamkan. Perjuangan Imam Husain as

adalah apa yang dilarang oleh ayat di atas. Dengan

demikian, apakah perjuangan beliau bertentangan dengan

ayat tersebut?

Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini:

A. Jawaban yang satu ini akan menjadi jelas dengan

beberapa pengantar di bawah ini:

1. Menjatuhkan diri ke dalam kehancuran tidak

diharamkan secara total. Dalam keadaan-keadaan tertentu

justru wajib hukumnya. Misalnya jika agama Islam berada

dalam bahaya dan terancam hancur, dan tidak ada cara

lain selain mengorbankan diri, maka pengorbanan itu

wajib bagi kita. Namun jika tujuan pengorbanan itu

bukanlah hal penting atau bahkan tidak syar’i dan masuk

akal, jelas kita dilarang untuk menjatuhkan diri ke

dalam kehancuran.

2. Menjatuhkan diri ke dalam kehancuran itu diharamkan

jika tidak ada tujuan yang jauh lebih penting di

baliknya. Namun jika pengorbanan diri dilakukan demi

tujuan yang sangat penting, akal pun juga

membenarkannya.

3. Kehancuran yang sebenarnya adalah kehancuran yang

diakibatkan mengikuti langkah-langkah setan dan hawa

nafsu. Namun seorang yang syahid dan gugur di jalan

Allah bukanlah orang yang jatuh ke dalam kehancuran.

Kesyahidan Imam Husain as dalam membela agama Islam dan

menjaganya bukanlah kehancuran yang dimaksud ayat di

atas.

Dengan demikian, maka:

Pertama: jika meskipun kita anggap Imam Husain as telah

menjatuhkan diri ke dalam kehancuran, namun dengan

melihat kondisi di saat itu, perbuatan Imam Husain as

adalah suatu kewajiban. Karena beliau memiliki tujuan

yang lebih besar dan lebih penting dari nyawa, yaitu

terjaganya agama dan hukum-hukum Allah swt. Perjuangan

Imam Husain as bukan saja dibenarkan syari’at, namun

akal pun juga mengakui kebenarannya.

Kedua: jihad Imam Husain as melawan Yazid bukanlah

menjatuhkan diri ke dalam kehancuran. Karena gugurnya

Imam Husain as dalam melawan Yazid, yakni

kesyahidannya, bukanlah kehancuran; kesyahidan dan

kehancuran adalah dua perkara yang jauh bertentangan.

Kehancuran adalah mati sia-sia. Adapun kesyahidan

adalah mati di jalan Allah swt dan penggapaian

kebahagiaan sejati.[2] Oleh karena itu sebagian ahli

tafsir memaknai ayat tersebut begini: “Janganlah kalian

menjatuhkan diri kalian dengan tangan kalian sendiri ke

dalam kehancuran karena menghindar dari kesyahidan yang

merupakan hayat abadi.”[3] Yakni jika kalian melarikan

diri dari jihad yang diwajibkan Allah swt, berarti

kalian telah menjatuhkan diri ke dalam kehancuran.

Namun jika kalian menjalankan kewajiban tersebut, maka

kalian telah memilih kehidupan abadi dan terselamatkan

dari kehancuran. Jadi, orang yang memilih kesyahidan di

jalan Allah swt telah menyelamatkan diri dari

kehancuran dan mendapatkan kehidupan suci dan bahagia

abadi.

Selama perjalanan Imam Husain as ke Karbala, beliau

sering melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam

khutbah-khutbahnya untuk menyampaikan pesannya. Suatu

saat sekelompok jin menawarkan diri untuk membantu Imam

Husain as memenangkan peperangan dengan cara

menghancurkan musuh-musuh beliau sebelum perang

dimulai. Namun Imam Husain as menolak dan berkata bahwa

jika mau menggunakan kekuatan ghaib, beliau lebih kuat

dari pada jin-jin.[4] Lalu beliau membaca ayat ini:

“…agar orang yang binasa itu binasanya dengan

keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu

hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).” (QS.

Al-Anfaal [8]:42)

Dengan menyampaikan ayat tersebut Imam Husain as

menjelaskan bahwa tragedi Asyura adalah tragedi

kemenangan dan kehancuran yang harus berlangsung dengan

sempurnanya hujjah.

Penjelasannya begini: Imam Husain as ingin orang-orang

yang memusuhinya benar-benar menyadari apa yang sedang

mereka lakukan, begitu pula sahabat-sahabat beliau.

Yang mana dengan demikian mereka memilih kehancuran dan

kemenangan dengan pilihannya sendiri lalu hancur dan

hidup dengan usahanya sendiri. Di Asyura musuh-musuh

Imam Husain as memilih kehancuran atas keinginanya

sendiri dan sahabat-sahabat beliau memilih kehidupan

abadi bersama pemimpinnya atas kehendaknya sendiri

pula. Kebahagiaan di akherat bagi orang-orang yang

gugur di jalan Allah swt adalah kebahagiaan abadi.

Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan

terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa

mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup,

tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah

[2]:154)

Dalam peristiwa Karbala telah sempurna hujjah Allah

bagi kedua kelompok. Oleh karena itu kebahagiaan abadi

kelompok Imam Husain as dan kehancuran nyata musuh-

musuh beliau telah dipilih berdasarkan hujjah yang

sempurna dan jelas. Jadi, jangankan Imam Husain as,

sahabat-sahabat dan kerabat beliau tidak ada yang jatuh

ke dalam kehancuran.

B. Perjuangan yang dilakukan Imam Husain as adalah atas

perintah Allah swt dan sesuai dengan tujuan yang

diinginkan Rasulullah saw. Fakta ini dapat difahami

dengan menengok tujuan-tujuan yang beliau jelaskan

sendiri dan juga riwayat-riwayat yang mejelaskan bahwa

nabi dan Imam Husain as sendiri benar-benar tahu akan

peristiwa Asyura:

1. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an[5] dan juga riwayat-

riwayat[6] dijelaskan bahwa memerangi kebatilan adalah

suatu kewajiban. Karena tegaknya agama menuntut

ditumpaskannya kebatilan dan perjuangan di jalan Allah

swt. Perjuangan Imam Husain as tidak lepas dari perkara

penting ini.

2. Rasulullah saw sering kali mengkabarkan tentang

peristiwa tragis yang akan menimpa cucunya, Imam Husain

as. Riwayat-riwayat tentang hal ini tidak hanya

disebutkan dalam buku-buku Syiah saja, namun juga dapat

ditemukan dalam referensi-referensi hadits Suni. Bahkan

tidak hanya jelas sekali makna riwayat itu, namun juga

mutawatir.[7]

Rasulullah saw bersabda: “Malaikat Jibril datang

kepadaku dan mengkabarkan bahwa kelak cucuku Al-Husain

as akan terbunuh di tanah tandus Karbala, lalu ia

membawakan segenggam tanah itu untukku, lalu berkata

bahwa di tanah itu ia akan dikuburkan.”[8]

Dalam riwayat lainnya Rasulullah saw berkata kepada

Imam Husain as: “Sesungguhnya bagimu ada suatu tempat

di surga yang tak akan tergapai kecuali dengan

kesyahidan.”[9]

Diriwayatkan dari Anas bin Harits (orang yang menyertai

Imam Husain as hingga meninggal) bahwa Rasulullah saw

bersabda: “Cucuku Al-Husain as akan terbunuh di tanah

Karbala. Barang siapa melihatnya, maka ia harus

menolongnya.”[10]

Oleh karenanya, orang yang tidak menolong Imam Husain

as, apa lagi orang yang memeranginya, adalah orang yang

memerangi Allah swt dan nabinya.

3. Perkataan dan sikap Imam Husain as sejak awal

membuktikan bahwa beliau memilih keputusannya dengan

penuh kesadaran. Ia pun yakin perjuangannya adalah

perintah Allah swt dan rasul-Nya. Misalnya, saat

menjawab perkataan saudaranya Muhammad Hanafiah, beliau

berkata: “Setelah engkau pergi aku bermimpi melihat

Rasulullah saw berkata kepadaku: “Wahai Husain!

Pergilah ke Iraq. Karena Allah swt berkehendak untuk

melihatmu gugur di jalan-Nya.””[11]

 

Sanggahan untuk jawaban ini

Apakah jika Imam Husain as tahu bahwa perjuangannya

adalah perintah Allah swt berarti ia dipaksa?

 

Jawaban

Tentang kehendak Tuhan dalam perkataan Rasulullah saw

di mimpi Imam Husain as, kebanyakan ulama menyatakan

bahwa kehendak tersebut adalah kehendak tasyri’i, bukan

takwini.[12] Kehendak tasyri’i tidak bersifat paksaan

dan tiadanya ikhtiar. Maksud dari kehendak tersebut

adalah keridhaan Allah swt akan terbunuhnya Imam Husain

as dan pengetahuan-Nya tentang bahwa peristiwa itu akan

terjadi.[13] Oleh karena itu, kehendak Ilahi yang

berarti pengetahuan pasti-Nya akan terjadinya sesuatu

bukan berarti paksaan. Karena segala sesuatu yang

terjadi pada hambanya dan yang telah Ia ketahui

sebelumnya bergantung pada ikhtiar dan kehendak manusia

sebagai pelaku itu sendiri. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh

manusia “atas kehendaknya masing-masing” telah

diketahui Allah swt sebelum semua itu dilakukan, dan

dengan demikian disebut dengan kehendak Ilahi.

Meskipun Imam Husain as telah diberitahu tentang apa

yang akan terjadi padanya, namun beliau sendiri

berusaha agar apa yang diberitahukan kepadanya itu

terwujud dengan cara mengumpulkan pasukan dan segala

persiapan perjalanannya. Oleh karena itu beliau

berikhitiar dan berkehendak dalam keputusan dan

perbuatannya.

 

Kesimpulan

Jika agama Islam terancam, maka kita wajib melakukan

segalanya demi terjaganya Islam, termasuk mengorbankan

jiwa sendiri. Seperti itu perjuangan Imam Husain as di

Karbala.

Perjuangan beliau bertujuan untuk menyelamatkan Islam

dari kehancuran, yang mana Tuhan dan Rasulullah saw

juga menginginkannya. Imam pun berjuang atas kehendak

nya sendiri dan beliau melakukannya dengan penuh

kesadaran. Oleh karena itu beliau tidak termasuk orang

yang menjatuhkan diri sendiri ke dalam kehancuran.

 

Referensi untuk mengkaji lebih jauh:

1. Ayatullah Shafi Gulpaygani, Partooee az Azamat e

Hosain.

2. Ali Asghar Rezvani, Pasokh be Syobahat.

3. Daftar Tablighat e Eslami, Pasokh ha ye Bargozide.

 

Hadits akhir:

Barra’ bin ‘Azib berkata: “Aku melihat Rasulullah saw

menggendong Husain as di atas pundaknya seraya berkata:

“Ya Allah! Aku sangat mencintainya, maka cintailah ia

pula.”[14]

 

 

CATATAN :

[1] QS. Al-Baqarah: 195.

[2] Nashir Makarim Syirazi, Al-Amtsal fi Tafsir Kitab

Allah Al-Munzal, jil. 2, hal. 38.

[3] Ruhul Bayan, jil. 1, hal. 310; Tabyin Al-Qur’an,

hal. 42; Tafsir Jalalain, hal. 34.

[4] Biharul Anwar, jil. 44, hal. 331)

[5] QS. At-Taubah: 29.

[6] Mustadrak Al-Wasail, jil. 11, hal. 17; Al-Kafi,

jil. 5, hal. 3.

[7] Luthfullah Shafi Gulpaygani, Partoee az Azamat e

Hosain, hal. 50.

[8] Biharul Anwar, jil. 18, hal. 114; Ash Shawaiqul

Muhriqah, hal. 190; Maqtal Khwarazmi, pasal 7, hal.

156.

[9] Maqtal Khwarazmi, pasal 8, hal. 170.

[10] Biharul Anwar, jil. 44, hal. 247.

[11] Sayid Ibnu Thawus, Al-Luhuf fi Qatl Ath-Thufuf,

hal. 94; Biharul Anwar, jil. 44, hal. 364.

[12] Murtadha Muthahari, Homase e Husaini, jil. 3, hal.

86.

[13] Imam Husain wa Quran, hal. 128.

[14] Biharul Anwar, jil. 43, hal. 264.